G. KESIMPULAN
Surat,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah kertas yang bertulis atau
secarik kertas sebagai tanda atau keterangan, sesuatu yang di tulis. Menurut
Soejito dan Solchen, ditinjau dari isinya, surat merupakan jenis karangan (komposisi)
paparan pengarang mengemukakan maksud dan tujuannya, menjelaskan apa yang
dipikirkan dan dirasakannya. Ditinjau dari wujud peraturannya, surat merupakan
percakapan tertulis. Sementara ditinjau dari fungsinya, surat adalah alat
sarana komunikasi tulis.
Surat
pernyataan, termasuk surat permohonan maaf, merupakan penjelasan tertulis
terkait situasi atau kondisi seseorang yang membuat seseorang melakukan sesuatu
atau menyelesaikan tanggung jawab. Surat ini dibuat dengan maksud dan tujuan
untuk memberikan keterangan tentang suatu hal penting dan berfungsi sebagai
dokumen pendukung bagi penerima surat jika suatu saat terjadi
pelangggaran/pengingkaran/tindakan yang tidak sesuai dengan isi atau
kesepakatan dan kesanggupan yang tertuang dalam surat. Surat pernyataan yang
bermaterai bisa menjadi alat bukti di pengadilan.
Dalam
konteks ini, latar belakang pembuatan surat adalah rekayasa peristiwa
pembunuhan Brigadir J yang terbongkar (kebohongan tentang kejahatan) dan
pembuat surat adalah Ferdy Sambo, tersangka pembunuhannya (pelaku/otak
pembunuhan).
Dengan
demikian, surat permohonan maaf Ferdy Sambo seharusnya berisi tentang
permohonan maaf kepada pihak korban, semua pihak yang dilibatkan, institusi
yang dirugikan dan publik karena telah berbohong mengenai kejahatan yang
dilakukan.
Kemudian
surat pernyataannya seharusnya berisi pengakuan tentang kebohongan mengenai
kejahatan yang dilakukan, penjelasan tentang bagaimana sebenarnya kejahatan
tersebut dilakukan (peristiwa apa yang terjadi, kapan dan di mana kejadian
sesungguhnya, siapa saja yang terlibat, kenapa dan bagaimana peristiwa itu
terjadi), dan pernyataan kesanggupan bertanggung jawab dan jaminan bahwa apa
yang dikatakan dalam surat adalah benar (sesuai fakta), seperti: “Semua yang Saya katakan adalah benar dan
saya siap menerima sanksi atas kejahatan yang telah saya lakukan. Jika di
kemudian hari terbukti bahwa apa yang Saya sampaikan dalam surat ini adalah
tidak benar, Saya bersedia mempertanggung jawabkan secara hukum.”
Namun
berdasarkan deskripsi dan interpretasi teks, dapat diketahui bahwa kedua surat
Ferdy Sambo justru tidak menjelaskan tentang peristiwa pembunuhan Brigadir J
dan tidak memberikan jaminan apa pun sebagaimana disebutkan di atas.
Melalui
suratnya, Ferdy Sambo hanya ingin membangun citra positif mengenai dirinya,
peristiwa yang melatar belakangi, juga orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya (anak buahnya yang disebut namanya dalam surat).
ü Melalui
pernyataan “permohonan maaf” pembuat
surat secara tidak langsung mengakui telah berbuat kesalahan/kejahatan, yaitu
pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Josua.
ü Melalui
pernyataan “penyampaian atau penjelasan
informasi yang tidak benar” dan “skenario/rekayasa
fakta yang saya buat” pembuat surat mengakui bahwa ia dengan sengaja
berbohong.
ü Melalui
pernyataan “tentang kronologi kejadian
meninggalnya Brigadir Nofriansyah Josua di TKP Rumah Dinas Duren Tiga”
pembuat surat menegaskan bahwa ia berbohong tentang “kronologi pembunuhannya”
bukan “motif pembunuhannya”.
ü “Melalui
pernyataan “untuk menjaga kehormatan
keluarga saya” pembuat surat menegaskan bahwa motif pembunuhan karena
“pelecehan seksual” yang disebutkan sejak awal pemberitaan adalah benar. Hal
ini sekaligus menjelaskan bahwa di balik perbuatan buruknya ada tujuan baik
yang mendasari.
Dengan
demikian, Ferdy Sambo bermaksud membangun citra positif bahwa dirinya adalah
“pembunuh penjahat” atau “pembela kebenaran”.
Seperti
yang dijelaskan dalam teori Manipulasi informasi, dalam hal ini pembaca
disesatkan oleh keyakinan bahwa pesan-pesan itu bersifat kooperatif, yaitu
bahwa persan-pesan itu sifatnya informatif, jujur, relevan, dan jelas. (Mc. Conack, Livene, Morisson & Lepnsky)
Ferdy
Sambo menunjukkan sikap baik melalui suratnya seolah dirinya menyesal, meminta
maaf, dan siap bertanggung jawab kemudian mengakui perbuatannya, padahal
sesungguhnya kedua surat yang ditulisnya merupakan bagian dari strategi
kebohongannya.
Merujuk
pada Interpersonal Deception Theory,
bahwa konsep pembohongan dijelaskan sebagai suatu pesan yang disampaikan oleh pengirim
untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi si penerima. Setiap
orang yang berbohong pasti memiliki tujuan, yaitu sasaran, memelihara tujuan
dan menyelamatkan muka (diri sendiri).
Dalam
hal ini, Ferdy Sambo adalah seorang pelaku kejahatan pembunuhan berencana
terhadap Brigadir J yang sejak awal sengaja berbohong untuk menyembunyikan
kejahatannya dengan mengubah fakta “penembakan” menjadi “tembak-menembak”.
Namun kemudian kebohongannya terbongkar dan ia pun terpaksa mengakui perbuatannya
dengan menyebut “menjaga kehormatan keluarga” sebagai motif pembunuhannya.
Dalam
teori tersebut dijelaskan bahwa pembohong harus terus berurusan dengan
tugas-tugas yang kompleks dengan mengatur strategi kebohongannya. Jika bohong
sudah terlalu banyak, maka akan terjadi kebocoran yang akan berpengaruh pada
perilaku non verbal, seperti ekspresi wajah, kontak mata, dan gerakan tubuh.
Untuk
menyembunyikan kebocoran tersebut, maka Ferdy Sambo memilih menggunakan surat
(sarana komunikasi satu arah yang berupa tulisan) untuk melanjutkan
kebohongannya dan menyembunyikan fakta, melalui pemilihan kata dan struktur
kalimat yang sengaja dirancang untuk menyampaikan kebenaran versi dirinya.
Namun
yang membuat informasi tidak mudah diterima sebagai kebenaran adalah karena
komunikator telah terbukti berbohong sebelumnya, sehingga komunikan tidak
percaya begitu saja. Dengan demikian, komunikator perlu meyakinkan komunikan
bahwa dirinya tidak berbohong lagi. Dengan kata lain, kebohongan melibatkan
manipulasi informasi, perilaku, dan citra yang dilakukan dengan sengaja untuk
membuat orang lain mempercayai kesimpulan/keyakinan yang palsu.
Melalui
kedua suratnya, Ferdy Sambo hanya ingin menunjukkan citra yang positif dan
sikap yang baik. Melalui surat permohonan maafnya, ia ingin menunjukkan sikap
“menyesal, meminta maaf, dan siap bertanggung jawab”, kemudian dilanjutkan
dengan surat pernyataannya yang menggambarkan dirinya sebagai sosok yang
“tulus, jujur, bertanggung jawab, dan pembela kebenaran”, disamping terdapat
maksud lain yang ditujukan kepada penyidik, yaitu agar tidak memproses hukum
anak buahnya, BJP. Hendra Kurniawan dan KBP. Agus Nurpatriya. (lihat
interpretasi teks surat pernyataan: afek)
Merujuk
pada keseluruhan deskripsi dan interpretasi teks kedua surat, maka surat Ferdy
Sambo terindikasi bohong. Hal ini dapat diketahui dari ciri-ciri pesan yang
mengandung kebohongan menurut teori di atas, yaitu: pesan tidak mengandung
kepastian/tidak jelas, pesan yang disampaikan tidak relevan dengan topik, dalam
berperilaku saat berkomunikasi komunikator berupaya untuk menjaga hubungan dan
juga citranya.
Dalam
hal ini, surat tidak memiliki maksud, tujuan, dan penerima surat yang jelas
terkait dengan peristiwa yang melatar belakangi pembuatan surat. Komunikator
juga memanipulasi pesan dengan menjauhkan diri dari pesan, menggunakan
generalisasi yang tidak jelas sehingga jika pesan-pesan tersebut ditemukan
tidak benar maka ia dapat melepaskan diri.
Dapat
dilihat dalam suratnya, Ferdy Sambo meminta maaf karena melakukan kejahatan tapi
tidak pernah menjelaskan apa kejahatannya, kenapa dan bagaimana. Bahkan dalam
surat pernyataannya dia hanya menyatakan meminta maaf tentang “penyampaian atau
penjelasan informasi yang tidak benar
tentang kronologi meninggalnya Brigadir J di TKP Rumah Dinas Duren Tiga”
tetapi tidak pernah menjelaskan bagaimana kronologi benarnya, kapan dan di mana
kejadiannya. Kenapa dalam suratnya ia menyebut kronologi meninggalnya yang tidak benar, tetapi pada kenyataannya
yang diralat justru lokasi kejadian pelecehan seksualnya, bukan lokasi kejadian
pembunuhannya. Sehingga ketika pelecehan seksual yang sebelumnya disebut
terjadi di Rumah Dinas Duren Tiga tidak terbukti, ia mengakui bahwa telah
berbohong karena kejadian sebenarnya adalah di Magelang.
Ia
juga menyebut motif “untuk menjaga kehormatan keluarga” tetapi tidak
menjelaskan kehormatan keluarga seperti apa yang dimaksud, kenapa menjaga
kehormatan keluarga harus membunuh, dan apa yang sebenarnya terjadi sehingga
kehormatan keluarga harus dijaga. Di sini, topik utamanya adalah membunuh untuk
menjaga kehormatan keluarga, tetapi dalam surat pernyataannya ia justru
mati-matian “menjaga anak buahnya”. Bukannya menjelaskan bagaimana kejadian
sesungguhnya di Magelang yang membuktikan bahwa benar “istrinya tidak terlibat,
tidak melakukan apa-apa, dan justru menjadi korban” seperti pernyataannya yang
terakhir saat di Kejagung, melainkan justru menjelaskan bahwa BJP. Hendra
Kurniawan dan KBP. Agus Nurpatriya tidak terlibat pengrusakan DVR CCTV di Pos
Satpam.
Bahkan
dalam pernyataanya langsung saat berada di Kejagung,
“Semua
yang saya lakukan adalah karena kecintaan saya pada istri saya. Saya tidak tahu
bagaimana membahasakan perasaan, emosi, dan amarah yang memuncak setelah
mendengar informasi tentang perbuatan yang dialami istri saya. Kabar yang
menyesakkan hati saya sebagai seorang suami. Namun saya menyesal sangat
emosional saat itu. Saya akan mempertanggungjawabkan secara hukum. Istri saya
tidak terlibat dan tidak melakukan apa-apa.”
Ferdy Sambo
tidak menjelaskan apa pun tentang perbuatan apa yang dialami istrinya, kabar
menyesakkan apa yang dimaksud, siapa yang memberikan informasi/kabar tersebut,
dan apa yang membuktikan bahwa istrinya tidak terlibat.
Dalam seluruh
pernyataan Ferdy Sambo, baik secara langsung maupun melalui surat, terdapat
ketidak jelasan informasi, hubungan pernyataan satu sama lain yang tidak
relevan, dan banyak ditemukan cacat logika. (lihat interpretasi teks surat
pernyataan: afek)
Dapat dilihat
bagaimana ketidak jelasan hubungan antara berbagai pernyataan berikut:
ü Dalam
pernyataan terakhirnya disebutkan, yang emosi, marah memuncak dan sesak hati
adalah suami (Ferdy Sambo), sebabnya adalah
perbuatan yang dialami istri.
ü Dalam
surat pernyataannya disebutkan, yang dijaga adalah kehormatan keluarga, bukan
kehormatan istri.
ü Dalam
pengakuan saksi/pelaku, yang (diperintah) membunuh (menembak pertama kali)
adalah ajudannya (Bharada E), suami hanya ikut menembak kemudian merancang
skenario tembak menembak. Padahal dari banyak kasus pembunuhan yang dilatar belakangi
oleh kejahatan korban, pelaku cenderung membunuh korban dengan tangannya
sendiri dan langsung mengakui perbuatannya setelahnya.
ü Citra
positif yang dibangun dalam surat, suami adalah pembela kebenaran, namun fakta
yang ditemukan dalam surat pernyataannya: “untuk
menjaga kehormatan keluarga” adalah
motif kebohongan pelaku, bukan motif pembunuhan korban. (lihat interpretasi teks surat pernyataan:
afek)
Seperti
sudah disebutkan di atas, bahwa surat yang ditulis oleh Ferdy Sambo terindikasi
“bohong”. Yang disampaikan oleh Ferdy Sambo dalam suratnya adalah informasi
palsu yang dibangun melalui pemilihan kata dan struktur kalimat dengan
menerapkan tiga strategi berikut:
ü Menjelaskan
dengan menyembunyikan banyak hal (fakta).
ü Mengakui
dengan menutupi kebenaran.
ü Berbohong
dengan mengatakan kejujuran.
Dalam
hal ini, permohonan maaf yang disampaikan oleh Ferdy Sambo, terutama kepada
orang tua korban, hanya merupakan bentuk etika untuk memenuhi standar norma
kesopanan yang berlaku di masyarakat tentang kebiasaaan yang dilakukan oleh
semua orang ketika melakukan kesalahan. Tidak ada ketulusan dalam permohonan
maafnya karena permohonan maaf yang tulus selalu diikuti dengan penyesalan
berupa perbaikan perilaku dan kejujuran.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sejak awal pelaku (Ferdy Sambo) sengaja
berbohong dengan menyusun skenario/rekayasa fakta tentang pembunuhan Brigadir J
untuk menjaga nama baik keluarga (sebagai pejabat Polri yang dipercaya
masyarakat), sementara motif pembunuhan yang sesungguhnya adalah yang tidak
pernah diungkapkan kepada penerima surat/pembaca/publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar